Anda Perlu Tahu: Aturan Penting Penyelesaian Masalah Pertanahan

Anda Perlu Tahu: Aturan Penting Penyelesaian Masalah Pertanahan

Aturan di bidang pertanahan terkait dengan penyelesaian sengketa, konflik, dan perkara pertanahan telah disahkan pemerintah. Alasan penerbitan dari aturan tersebut adalah karena aturan sebelumnya, yakni Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan dinilai tidak berjalan efektif. Peraturan Menteri Agraria Dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (Permen Agraria) Nomor 11 Tahun 2016 yang membahas tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan ini bertujuan agar penyelesaian kasus pertanahan dapat dijalankan secara lebih efektif.


Beberapa hal penting dalam aturan ini yang perlu diperhatikan ketika seseorang  mendapati kasus pertanahan di kemudian hari, yaitu:

  1. Berbagai jenis kasus pertanahan dibedakan antara sengketa, konflik, dan perkara pertanahan.
    Sengketa tanah adalah perselisihan antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas. Konflik tanah adalah perselisihan pertanahan baik orang, kelompok, organisasi, badan hukum yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas. Dan, perkara tanah adalah perselisihan pertanahan yang penanganan perkara dan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan.
  2. Aturan ini membedakan penanganan penyelesaian sengketa dan konflik berdasarkan mekanisme laporan.
    Pasal 4 Permen Agraria Nomor 11 Tahun 2016 membedakan jenis laporan berdasarkan dua jalan, yakni inisiatif dari kementerian dan pengaduan masyarakat. Dua mekanisme laporan itu dibedakan oleh proses administrasi dan pencatatan penanganan aduan yang masuk. Namun, mekanisme selanjutnya tidak terdapat perbedaan setelah temuan dan aduan didaftarkan. Terhadap temuan dan aduan tersebut dilakukan analisa secara mendalam untuk mengukur dan mengetahui apakah kasus pertanahan itu menjadi kewenangan kementerian. Pasal 11 ayat (3) Permen Agraria Nomor 11 Tahun 2016 menyebutkan
    sengketa atau konflik yang menjadi kewenangan kementerian, dalam hal ini Kementerian Agraria dan Tata Ruang.Terjadinya sengketa atau konflik antara lain karena kesalahan prosedur dalam proses pengukuran, pemetaan, dan/atau perhitungan luas, kesalahan prosedur dalam proses pendaftaran dan/atau pengakuan hak atas tanah bekas milik adat, kesalahan prosedur dalam proses penetapan dan/atau pendaftaran hak tanah, kesalahan prosedur dalam proses penetapan tanah terlantar, dan tumpang tindih hak atau sertifikat hak atas tanah yang salah satu alas haknya jelas terdapat kesalahan.
    Hal itu juga bisa terjadi karena kesalahan prosedur dalam proses pemeliharaan data pendaftaran tanah, kesalahan prosedur dalam proses penerbitan sertifikat pengganti,

kesalahan dalam memberikan informasi data pertanahan, kesalahan prosedur dalam proses pemberian izin, Penyalahgunaan pemanfaatan ruang, serta kesalahan lain dalam penerapan peraturan perundang-undangan.

Sebenarnya selain sengketa atau konflik tersebut, Kementerian Agraria dan Tata Ruang tidak memiliki wewenang dalam menangani kasus pertanahan. Namun, Kementerian Agraria dan Tata Ruang dapat mengambil inisiatif untuk memfasilitasi penyelesaian sengketa atau konflik melalui jalur mediasi.

Yang dimaksud dengan jalur mediasi dalam aturan adalah proses mediasi yang ditempuh untuk jenis sengketa atau konflik, baik yang menjadi kewenangan kementerian atau yang bukan menjadi kewenangan kementerian. Jalur mediasi bisa menjadi pilihan apabila para pihak sepakat melakukan perundingan dengan prinsip musyawarah untuk mufakat bagi kebaikan semua pihak.

Apabila salahsatu pihak saja menolak, maka penyelesaiannya diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Secara praktek, mediasi akan dilaksanakan paling lama 30 hari dan menggunakan mediator dari kementerian, Kantor Wilayah BPN atau Kantor Pertanahan.

Apabila jalur mediasi menemukan kesepakatan, maka selanjutnya dibuat perjanjian perdamaian berdasarkan berita acara mediasi yang mengikat para pihak yang bersengketa.Kemudian perjanjian perdamaian itu didaftarkan pada Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat untuk memperolah kekuatan hukum mengikat.

Perlu diperhatikan, mediasi bisa dianggap batal apabila setelah diundang tiga kali, para pihak atau salah satu pihak yang berselisih tidak hadir. Jika hal itu terjadi, para pihak dipersilahkan menyelesaikan sengketa atau konflik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

  1. Keputusan tentang eksekusi dalam hal penyelesaian sengketa atau konflik dilaksanakan oleh Kepala Kantor Pertanahan.
    Keputusan eksekusi tersebut wajib dilaksanakan kecuali terdapat alasan yang sah untuk menunda pelaksanaannya. Dalam pasal 33 ayat (2) Permen Agraria Nomor 11 Tahun
    2016 menyatakan, terdapat tiga alasan yang sah untuk menunda pelaksanaan, yaitu:
    – Sertifikat tersebut sudah akan disita oleh kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau
    lembaga penegak hukum lainnya.
    – Tanah yang menjadi objek pembatalan telah menjadi objek hak tanggungan.
    – Tanah tersebut telah dialihkan kepada pihak lain.
  2. Penanganan perkara dilaksanakan oleh peradilan perdata atau tata usaha negara (TUN) dimana Kementerian Agraria dan Tata Ruang menjadi saksi. Apabila pihak kementerian kalah dalam perkara, Kementerian dapat melakukan upaya hukum yang meliputi perlawanan, banding, kasasi, dan peninjauan kembali. Selain itu, pihak yang berperkara dapat meminta keterangan ahli atau saksi ahli dari Kementerian melalui Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah BPN, atau Menteri. Sementara, dalam hal perkara di pengadilan tidak melibatkan Kementerian sebagai pihak namun

perkaranya menyangkut kepentingan Kementerian, maka Kementerian dapat melakukan intervensi. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan oleh masing-masing pihak yang bersengketa, kecuali terdapat alasan yang sah untuk ditunda. Beberapa alasan tersebut adalah dalam objek putusan terdapat putusan lain yang bertentangan, objek putusan sedang dalam status diblokir atau disita oleh
kepolisian, kejaksaan, pengadilan atau lembaga penegak hukum lainnya, dan berbagai alasan lain yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam pasal 50 Permen Agraria Nomor 11 Tahun 2016 menyatakan bahwa putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat dimintakan permohonan pelaksanaan melalui Kantor Pertanahan setempat atau langsung diajukan ke Kementerian, khusus dalam hal permohonan pembatalan penetapan tanah terlantar.

Sekedar informasi tambahan, selain mencabut Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2011, aturan tahun 2016 ini juga mencabut, dan menyatakan bahwa Peraturan Kepala BPN Nomor 12 Tahun 2013 tentang Eksaminasi Pertanahan dan ketentuan lain yang bertentangan dengan aturan ini, sudah tidak berlaku.

faq

MENU

KONTAK KAMI

Managed by Ahad Digital

Copyright © 2021 Bikin PT