Kenali Jenis Sertifikat Properti, Jangan Sampai Salah Urus

Kenali Jenis Sertifikat Properti, Jangan Sampai Salah Urus

Kata sertifikat adalah istilah biasa bagi mereka yang sudah sering bertransaksi dalam masalah properti, baik itu menjual atau membeli atau bahkan berbisnis jual beli properti. Namun bagi sebagian masyarakat yang belum pernah bertransaksi properti tentu sertifikat masih merupakan hal asing.

Apakah aneh jika seseorang belum mengenal hal-hal yang menyangkut sertifikat properti? Tidak. Bagi masyarakat yang hidup di kota besar, dimana harga properti sangat tidak terjangkau, dan sebagian besar masyarakat lebih suka menyewa tempat tinggal atau kalangan muda yang belum bermimpi untuk membeli properti, tentu kata sertifikat adalah hal yang tidak begitu menarik buat mereka.

Namun tidak ada ruginya untuk sedikit mengerti tentang sertifikat agar di kemudian hari jika berniat untuk memiliki properti, Anda tidak perlu repot-repot untuk bertanya kesana kemari. Apalagi dunia properti masih merupakan investasi paling populer di belahan dunia sekarang ini, dimana kenaikannya bisa mencapai 100 persen hanya dalam waktu kurang dari lima tahun. Jadi sedikit banyak pasti ada gunanya bagi kita semua.

1. Sertifikat Hak Milik (SHM)

Sertifikat Hak Milik (SHM) adalah jenis sertifikat dengan kepemilikan hak penuh atas lahan atau tanah oleh pemegang sertifikat tersebut. SHM juga menjadi bukti kepemilikan paling kuat atas lahan atau tanah yang bersangkutan karena tidak ada lagi campur tangan atau pun kemungkinan kepemilikan oleh pihak lain.

Jenis sertifikat yang berupa Hak Milik tersebut adalah hak yang bersifat turun-temurun, kuat di mata hukum, dan memenuhi syarat yang berlaku dan dapat dimiliki orang atas tanah di mana tanah tersebut masih memiliki fungsi sosial. Hak milik dapat diperjualbelikan ataupun dijadikan jaminan atau agunan atas utang dan apabila sudah diadministrasikan dengan baik, maka Anda sebagai pemilik tanah mendapatkan bukti kepemilikannya yang berupa SHM. Jadi apabila terjadi masalah yang berhubungan dengan hukum atau sengketa atas tanah, maka nama yang tercantum dalam SHM adalah pemilik sah berdasarkan hukum.

Dalam transaksi jual beli, biasanya pembeli lebih nyaman apabila status kepemilikan properti sudah dalam bentuk SHM, karena SHM sudah menjadi alat yang kuat untuk transaksi jual-beli maupun penjaminan kredit atau pembiayaan perbankan. Hal yang juga penting diketahui dan perlu selalu waspada bahwa meskipun Sertifikat Hak Milik atas lahan dan bangunan adalah bukti yang paling kuat di mata hukum, namun hak kepemilikan SHM masih dapat hilang atau dicabut.

Itu bisa terjadi apabila tanah atau bangunan yang dimaksud adalah untuk kepentingan negara, atau bisa juga karena penyerahan sukarela pemiliknya ke negara. Hal lain yang bisa menjadi alasan pencabutan SHM adalah apabila tanah tersebut ditelantarkan, dan bisa juga karena tanah tersebut bukan dimiliki oleh WNI. Kasus yang terakhir adalah apabila seorang WNI tersebut pindah kewarganegaraan atau secara sengaja ikut bergabung menjadi teroris internasional, yang menyebabkan status WNI-nya dicabut.

2. Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB)

Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) adalah jenis sertifikat dimana pemegang sertifikat tersebut hanya dapat memanfaatkan lahan tersebut untuk mendirikan bangunan atau keperluan lain dalam kurun waktu tertentu, sementara kepemilikan lahannya dipegang oleh negara.

SHGB memiliki batas waktu antara 20 sampai 30 tahun, dan dapat diperpanjang. Setelah melewati batas waktunya, pemilik SHGB harus mengurus perpanjangan SHGB tersebut di kantor BPN. Selain itu, Hak Guna dapat diartikan sebagai hak atas pemanfaatan tanah atau bangunan misalnya mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu tertentu. Hak Guna ini yang dapat diperpanjang jangka waktunya, dan dapat pula digunakan sebagai tanggungan (dipakai jaminan untuk meminjam uang di bank), serta dapat dialihkan.

Pemegang Hak Guna harus memberikan pemasukan ke kas negara berkaitan dengan Hak Guna yang dimilikinya. Apabila Hak Guna sudah diurus administrasinya dengan baik maka pemegang hak mendapatkan bukti kepemilikan berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). Lahan dengan status HGB ini biasanya berupa lahan yang dikelola oleh pihak pengembang swasta (developer) seperti perumahan atau apartemen, dan juga untuk digunakan sebagai gedung perkantoran.

3. Sertifikat Hak Satuan Rumah Susun (SHSRS)

Bagi pembeli rumah vertikal (apartemen atau rumah susun), maka mereka tidak akan mendapatkan SHM atau pun SHGB, melainkan Sertifikat Hak Satuan Rumah Susun (SHSRS). SHSRS adalah bukti kepemilikan bagi mereka yang memiliki properti yang dibangun di atas tanah dengan kepemilikan secara bersama.

Pengaturan kepemilikan bersama dalam satuan rumah susun atau apartemen digunakan untuk memberi dasar kedudukan atas benda tak bergerak yang menjadi objek kepemilikan di luar unit seperti taman dan lahan parkir. Pengelola rumah vertikal biasanya memiliki aturan masing-masing yang sesuai tentang bagaimana mengatur pemeliharaan tanah dan hak atas parkir dari masing-masing penghuni.

4. Girik

Girik adalah bukti kepemilikan tanah yang hanya berdasarkan Akta Jual Beli atau Surat Waris, yang biasanya berlaku di daerah pedesaan yang cukup jauh dari administrasi pemerintah daerah. Contoh daerah yang masih memperlakukan Girik adalah di Kecamatan Pracimantoro, Wonogiri bagian selatan dan daerah sekitarnya. Jarak antara kecamatan Pracimantoro daerah pedalaman ke kantor pemerintah kota bisa sampai dua jam perjalanan dengan kendaraan bermotor. Dan menariknya, di daerah tersebut, SHM atau SHGB bukanlah hal yang biasa dimiliki oleh masyarakat setempat, karena bagi mereka Girik sudah cukup menjadi bukti kepemilikan properti atau lahan pertanian dan perkebunan. Bahkan masih banyak lahan yang berdasarkan kepemilikan hanya dari mulut ke mulut saja, dan disaksikan oleh sebagian anggota masyarakat.

Perlu diketahui, Girik sebenarnya bukan merupakan sertifikat kepemilikan yang sah atas tanah melainkan jenis administrasi desa untuk pertanahan yang menunjukkan penguasaan atas lahan untuk keperluan perpajakan. Meskipun begitu, di dalam Girik tertera nomor, luas tanah, dan pemilik hak karena jual-beli maupun waris.

Selain ditunjang dengan bukti jelas, misalnya Akta Jual Beli atau Surat Waris, Girik juga memakai beberapa saksi hidup dari orang-orang sekitar lahan yang tertera. Dan seringkali kepala dusun juga menjadi bukti hidup dari kepemilikan Girik seseorang. Namun sekali lagi, Girik bukanlah bukti yang sah atas kepemilikan tanah dalam hukum positif yang berlaku di negara kita.

5. Akta Jual Beli (AJB)

AJB sebenarnya juga bukan merupakan sertifikat kepemilikan tanah yang sah, melainkan perjanjian jual-beli dan merupakan salah satu bukti pengalihan hak atas tanah sebagai akibat dari jual-beli. Kasus kepemilikan tanah dari mulut ke mulut yang disebutkan di atas dalam kasus Girik biasanya kalau dijual ke seseorang biasanya pembeli hanya akan diberi AJB sebagai bukti kepemilikan

Bukti AJB juga terdapat dalam berbagai bentuk kepemilikan tanah, baik SHM, SHGB, SHSRS, ataupun Girik, karena AJB adalah kwitansi yang diberikan antara penjual kepada pembeli. Yang perlu diwaspadai adalah bahwa bukti kepemilikan berupa AJB biasanya sangat rentan terjadinya penipuan karena AJB ganda, jadi sebaiknya AJB harus segera dikonversi menjadi Sertifikat Hak Milik.

faq

MENU

KONTAK KAMI

Managed by Ahad Digital

Copyright © 2021 Bikin PT